Berakhir (Cerpen Kocak Sarat Makna)

“Huwaa.. Gue telaaat!” teriak Dika yang tak pernah absen setiap pagi. Cowok sableng yang baru menduduki kelas 2 SMA ini segera beranjak dari tempat tidurnya dengan terburu - buru.
“Dugg!” suara kepala Dika yang bertemu dengan tembok .
“Gila, siapa sih yang naruh tembok disini?” gerutunya sambil membela diri dan menyalahkan tembok yang sudah ada sejak zaman film “Misteri Gunung Berapi”. Ia pun kembali melanjutkan acara lari – lariannya ke kamar mandi untuk mendapatkan posisi utama sebelum kakaknya mendahului dan BERHASIL!! Tanpa ba bi bu dia pun langsung masuk ke kamar mandi untuk menunaikan panggilan alam. Selang beberapa menit akhirnya Dika keluar.
“Wah, gue lupa!” teriaknya dengan kedua tangan memegang pipi. Ternyata dia lupa dengan tujuan awalnya, yaitu MANDI.
Singkat cerita Dika sudah sampai di sekolah dengan menggunakan motor. Ia langsung dihentikan oleh satpam berkumis tebal nan panjang yang hampir mengalahkan kumisnya Pak Raden.
“Kamu lagi, kamu lagi. Sampai bosan saya lihat kamu terlambat terus.”
“Ya sama gue juga bosen lihat tampang lo,” gumam Dika dalam hati. Menanggapi pernyataan sang satpam tadi ia hanya melemparkan senyumnya. Kemudian ditangkis oleh satpam, berhasil ditendang oleh Dika, ditinju oleh satpam, ditampar oleh Dika, dan smash terakhir sang satpam mengakhirinya.

Di ruang kelas Dika…

“Waaasss… wesss… woosss..”
“Wusss… wusss…”
“Kurrr…kurrr…”
“Khakaa…khiikhiii…”
Suara keributan itu sudah biasa terjadi saat ada pelajaran kosong. Dika melihat anak – anak cewek berkumpul dengan gengnya masing – masing sambil membicarakan sesuatu dengan suara ultrasonic yang hanya mampu didengar dan dimengerti oleh kaumnya. Karena merasa bosan ia pun mengganggu sahabatnya, Yudi yang lagi sibuk mengorek – ngorek hidungnya dan mengeluarkan upil yang hampir segede batu kerikil.
“Yud, ke kantin yuk!”
“Ntar, lagi nanggung nih.”
“Yaudah, gue bantuin deh nyari tu upil pake obeng biar cepet.”
“Eh eh, ga usah repot – repot. Mending kita ke kantin aje sekarang,” usul Yudi dalam usaha menyelamatkan diri dari serangan sahabatnya yang bisa menyebabkan pendarahan dan gagar otak permanen. Mereka pun beranjak dari tempat duduk dan segera meninggalkan ruang kelas yang suasananya lebih parah dari rumah sakit jiwa. Baru beberapa langkah berjalan Dika tercengang dan diam seribu bahasa, seratus kata, dan sepuluh ejaan yang belum disempurnakan. Sementara Yudi tetap berjalan menuju kantin sambil berbicara sendiri, mengira sahabatnya masih mengikuti di belakang. Dika terpatung melihat sesosok gadis yang disinyalir bernama Kate, wanita pintar yang memiliki keturunan Singapura ( Singaraja – Amlapura ). Kate melintas di hadapan Dika dengan terburu - buru menuju ruang kelas. Dika ingin sekali menyapa. Tapi apa daya. Ia tidak mempunyai keberanian untuk berkenalan dengan wanita pujaannya itu.
“Plakk!”
“Wadooh!!” teriak Dika kesakitan karena dilempari sepatu oleh Yudi.
“Buseet dah. Udah bersemangat tadi gue cerita, lu malah diem disini. Pantes aja tu orang – orang ngetawain. Gue kira gue lupa pake celana. Ternyata sedari tadi gue ngomong sendiri,” omel Yudi.
“Hehe, ampun sesepuh. Tadi hamba baru saja melihat sesosok bidadari,” kata Dika sambil berlutut dan mengepalkan kedua tangannya ke atas.
“Hah, siapa?”
“Masa ga tau sih?”
“Kagak. Emangnya siapa?”
“Coba inget – inget lagi siapa cewek terakhir yang gue certain ke lo!”
Yudi mengkerutkan dahinya, menyatukan alisnya, dan menggaruk – garuk rambutnya sambil berusaha keras mengingat – ingat.
“Hmm. Oh iya, gue inget! Nenek lo kan?” jawab Yudi dengan sigap, cepat, dan penuh percaya diri.
“Yaelaah. Lama – lama gue tendang juga ni anak. Masa lo ga inget? Kate, kakak kelas kita  yang bulan lalu menang lomba debat itu loh.”
“Cewek atau cowok?”
“Cewek lah, sarap! Sejak kapan ada bidadari cowok?”
“Hehe, bercanda. Gue kan orangnya humoris,” jawab Yudi sambil kedua telunjuknya menyuntuh kedua pipinya.
“Lama – lama bikin stroke aje ni temenan ama lo. Ya udah, kita lanjut ke kantin aje!” ajak Dika
“Stroke itu bukannya kertas yang biasanya didapat di kasir ya?” tanya Yudi. Tetapi Dika tetap berjalan menuju kantin tanpa menanggapi pertanyaan temannya yang dianggap sangat tidak penting itu. Sementara Yudi masih sibuk mencari – cari sepatunya yang dilempar tadi.
Pada malam harinya Dika berencana menginap di rumah Yudi. Sebagai anak yang soleh dan berbudi pekerti yang luhur Ia berpamitan dulu dengan emaknya.
“Maak, dika nginep di rumah temen ya?”
“Di rumahnya siapa?”
“Biasa, di rumahnya Yudi. Lagian besok kan libur. Boleh ya?”
“Ya ya. Tapi besok harus sudah pulang sebelum jam 12 ya!”
“Emangnya kenapa?”
“Engga. Emak cuma takut anak emak satu – satunya berubah jadi Cinderella.”
“????” Dika tak bisa berkata apa – apa dan segera pergi meninggalkan rumah. Sedangkan emaknya kembali menonton film kartun favoritnya.

Di depan rumah Yudi…

“Tok tok tok!” suara panci yang digedorkan ke pintu oleh Dika. ( Jangan tanyakan darimana Ia mendapatkan panci itu ).
“Yuuudii, Yuuudii!” teriak Dika dengan suara mesosopran dan pitch control yang seimbang. Tak lupa diakhiri dengan vibra dan cengkok yang seketika membangunkan masyarakat desa.
“Woii, berisik!” kata salah seorang tetangga Yudi yang dibarengi oleh aksi melempar sepatu dimana sasaran utamanya adalah hidung mancung Dika. Dengan berbagai gaya yang diadaptasi dari film “Matrix” Ia dapat menghindar dari serangan tersebut. Sampai pada akhirnya, “ Om, Om, sudah, Om!” Terlihat seorang gadis sedang menarik pelempar tadi agar menghentikan aksinya. Kontan saja (tanpa dicicil) Dika mengalamishock  ringan karena ternyata gadis itu adalah Kate! Tapi tentu saja tak ada keberanian untuk memanggilnya. Selang beberapa detik Yudi keluar dari rumahnya. Melihat Dika yang sedang bengong Ia pun memanggilnya.
“Woi, Dik! Ngapain lo bengong disana sambil senyum – senyum mandangin rumah sebelah? Pasti habis lihat Pak Hendru bugil ya?
“Plakk!” Seketika tangan kanan Dika mendarat di pipi Yudi.
“Asem lo! Tadi gue habis lihat bidadari lagi,” ungkap Dika sambil kembali tersenyum dan kedua tangan mengepal di leher.
“Emang di rumahnya Pak Hendru ada bidadari? Perasaan dia tinggal sendiri. Atau jangan – jangan…”
“Plakk!” kali ini tangan kiri Dika yang mendarat di pipi Yudi.
“Tadi gue ngeliat Kate di rumahnya Pak Hendru,” jelasnya.
“Serius? Ngapain dia disana? Wah wah, ga bener ni,” kata Yudi.
“Eits, jangan berpikir macem – macem dulu. Kita cari tau kebenarannya,” ucap Dika dengan semangat 45.
“Ngemeng – ngemeng kalo tamu datang ke rumahmu biasanya ga dipersilahkan masuk ya?” sindir Dika.
“Diajak masuk sih. Tapi biasanya tamu yang kesini semuanya bawa makanan,” balas Yudi.
“Aku bawa kok. Taraaa!” kata Dika sambil menunjukan sebutir permen tanpa merek kepada Yudi. Yudi mengambilnya dan mulai mengendus – endus. Yudi menyimpulkan bahwa permen itu sudah mendiami kantong Dika selama berbulan – bulan lamanya. Dengan tampang yang lesu Yudi mempersilahkan temannya itu untuk masuk ke rumahnya.
Keesokan harinya dua sahabat kepompong itu bertamu ke rumah Pak Hendru. Mereka ingin mengetahui kebenaran tentang keberadaan Kate. Saat melihat Dika, Pak Hendru kembali melanjutkan aksinya yang semalam. Setelah terjadi beberapa kali adu mulut, adu tangan, adu mata, dan adu domba akhirnya beberapa informasi berhasil terkumpul menjadi variabel – variabel, dan barulah mereka mengetahui bahwa Kate merupakan keponakan dari Pak Hendru. Kemarin malam ia menginap di rumah pamanya itu karena kabur dari rumah dan baru tadi pagi meninggalkan rumah Pak Hendru. Beliau sendiri tidak mengetahui Ia pergi kemana karena memang tidak diberi tahu. Kate hanya meninggalkan sekantong tempe yang dibelinya di pasar. Sedangkan Dika dan Yudi pergi dengan muka benjol penuh memar, luka ringan di tangan, luka berat di sekujur tubuh, pendarahan, patah tulang belakang, dan kehilangan beberapa gigi depan.
Siang harinya mereka berdua kembali tampan seperti sedia kala tanpa lecet dan tergores sedikit pun (karena ini cerpen segalanya bisa terjadi). Mereka kembali mencari – cari keberadaan Kate. Sampai sore harinya mereka hanya mengetahui ia saat ini sedang tinggal dengan temannya. Tapi mereka tidak tahu siapa dan dimana temannya itu berada.
“Yud, besok Senin kan?. Besok gue harus ketemu dengannya apa pun yang terjadi. Gue pengen nyatain cinta ke dia,” kata Dika penuh semangat dan mata berapi – api.
“Urusannya sama gue apaan?” tanya Yudi dengan ekspresi nol.
“Yaelah, lo sebagai sohib gue seharusnya ngasi dukungan, entah itu moral maupun materi,” jawab Dika.
“Buseet, apa urusannya ngasi dukungan materi ke elu, gue aje serba kekurangan. Lihat aje penampilan gue!” kata Yudi sambil menunjukan pakaiannya yang tidak pernah terkena air selama sebulan dan wajahnya yang dipenuhi dengan bulu – bulu yang lupa dicukur. Melihat semua itu Dika pun ingin segera kembali pulang.
Senin, hari yang dinanti – nanti oleh Dika akhirnya datang juga. Selama pelajaran berlangsung ia terus memikirkan bagaimana caranya agar bisa berbicara dengan Kate. Ia pun tidak konsentrasi dalam belajar, tidak seperti biasanya. Ketika bel istirahat berbunyi Dika pun bersemangat keluar kelas. Kate berada di kelas XII A1, ia pun segera menuju tempat tersebut. Sesampainya disana Dika melihat Kate berjalan keluar dari kelas dan menuju perpustakaan. Ia pun segera mengikutinya. Awalnya Dika tidak berani untuk ikut masuk. Tapi karena melihat suasana perpustakaan saat itu tidak terlalu ramai, ia pun memberanikan diri.
“Uhuk..uhuk!” suara batuk Dika yang terdengar sangat dibuat – buat. Ia pun segera duduk di tempat yang menghadap langsung ke arah Kate.
“Uhuk..uhuk!” batuk palsu itu sekali lagi dilancarkan oleh Dika. Tapi hal itu tak mendapat respon sedikit pun dari Kate. Ia tetap sibuk membaca novel. Sampai empat kali Dika mencoba dan hal itu membuahkan hasil. Kate segera menengok ke arah Dika. Ia pun terpesona melihat paras Kate yang begitu cantik, dihiasi dengan kacamata dan poni lurusnya itu. Kate segera meraba – raba saku bajunya dan mengambil sesuatu dari sana.
“Nih!” ucap Kate sambil memberi permen pelega tenggorokan kepada Dika.
“Hah? Ooh.. Eh? Makasi,” Dika pun menerimanya dengan gugup.
“Sial, gue dikira batuk beneran,” gumam Dika dalam hati.
“Eh, kamu Dika anak A2 kan?” tanya Kate.
“Yap, kok bisa tau?” jawab Dika.
“Ya tau dong, temenku ada yang suka sama kamu,”
“Hah? Siapa?”
“Ada deh, hehe,”
“Hahaha,” jawab Dika dengan tawa. Padahal percakapan saat itu tidak ada unsur humor sama sekali.
“Padahal gue berharap elo yang suka sama gue,” gumam Dika dalam hati. Mereka pun terlibat percakan seru selama jam istirahat. Tapi semua itu terhenti ketika bel masuk berbunyi. Dika sangat senang karena akhirnya ia bisa lebih mengenal Kate, apalagi ia berhasil mendapatkan nomor ponselnya.
 Bel telah berbunyi tiga kali. Pelajaran hari itu pun telah usai. Dika dengan bersemangat bergegas meninggalkan ruang kelas.
“Dik, tunggu gue!” pinta Yudi.
“Sorry, Yud, gue ada urusan,” jawab Dika singkat. Ia berniat mengantarkan Kate pulang karena memang pada saat itu Kate tidak membawa kendaraan. Sesampainya di tempat parkir, Dika tercengang dengan apa yang sedang dilihatnya. Kate dipeluk oleh seorang laki – laki dari belakang. Kemudian ia pun naik ke motor laki – laki tersebut. Diketahui laki – laki itu bernama Erik, ketua tim basket di sekolahnya. Mereka pun segera pergi. Sementara Dika berjalan terluntai – luntai menuju motornya. Seketika harapannya pupus untuk memiliki wanita pujaannya itu.
Tak ada yang lebih mengerti perasaanya saat itu selain sahabatnya, Yudi. Maka pada malam harinya, ia kembali datang ke rumah sahabatnya itu. Ia menceritakan semua kejadian tersebut dan berharap mendapatkan support sehingga ia tidak bersedih lagi.
“Kurasa pilihan Kate sudah tepat. Dari segi fisik Erik lebih ganteng daripada lo. Selain itu dia juga lebih keren, lebih tajir, lebih gahol. Lo mah gak ada apa – apanya,” kata Yudi dengan polosnya.
“Huwaaa.. Lo bener juga,” jawab Dika dengan tampang melarat. Setelah percakapan panjang lebar dengan Yudi yang tidak berguna itu, Dika pun kembali pulang ke rumah karena ia telah mendapatkan 12 missed-call,30 sms, 6 e-mail, dan 13 pemberitahuan di FB yang semua berasal dari emaknya.
Dika memilih jalan sepi agar cepat sampai di rumah. Dalam perjalanannya ia melihat seorang wanita yang sedang bertengkar dengan seorang pria. Bahkan wanita tersebut dipukul hingga jatuh ke tanah. Semakin dekat Dika dengan mereka, dan ia pun sadar bahwa wanita itu adalah KATE! Ia pun segera turun dari motornya dan segera berlari menuju pria tersebut.
“Bukk!” Dika menghantam pria tersebut yang tidak lain adalah Erik.
“Kurang ajar! Ngapain lo ikut campur?” kata Erik dengan nada emosi. Ia pun membalas pukulan tersebut. Terjadilah baku hantam diantara mereka berdua.
“Stooop!!” teriak Kate sambil menangis. Erik pun menghentikan aksinya dan segera menuju motornya. Sebelum pergi ia pun meludah dan mengacungkan jari tengahnya kepada mereka berdua. Melihat hal tersebut Dika langsung mengambil batu dan melemparkannya ke arah Erik tetapi bisa dihindari karena ia langsung melajukan motornya dengan cepat. Dika segera menghampiri Kate yang masih terduduk di bawah.
“Kamu ga apa – apa kan?” tanya Dika.
“Kenapa lo nolongin gue? Ini kan ga ada urusannya sama lo,” jawab Kate.
“Itu ga penting, sekarang gue anterin lo pulang ya?”
“Ga usah, gue mau ke rumah temen aja.”
“Yaudah, gue anterin lo sekarang,” Dika pun segera membantu Kate untuk naik ke motornya. Kate merasa bingung dengan kebaikan orang yang baru dikenalnya sehari itu. Selang beberapa menit akhirnya mereka tiba di kediaman sahabat Kate, Fami. (Nama lengkapnya Dosilasol Famiredo). Dialah yang memberi tumpangan tempat tinggal kepada Kate selama ia kabur dari rumah karena sedang bermasalah dengan orang tuanya.
“Kate, sorry gue ga bisa nemenin lo, gue pulang dulu ya,” kata Dika.
“Oh iya, ga apa – apa. Thanks ya,” jawab Kate sambil tersenyum ke arah Dika. Fami langsung mengajak Kate ke dalam rumah, sedangkan Dika bergegas untuk pulang.

Di rumah Dika…

“Dikaaaaa!!!” teriak Emak dengan suara yang hampir menyamai Mpok Nori, “Kenape lu jam segini baru pulang?”
“Iya, tadi habis dari rumah temen,” jawab Dika.
“Alaah, liat jam berapa sekarang, bla bla bla…” untuk menyingkat cerita, omelan Emak kami ringkas dan menghilangkan beberapa kalimat yang tidak penting. Akhir percakapan Dika pun minta izin untuk tidur.

Keesokan harinya Dika melihat Kate dan Erik bertemu di belakang sekolah.
“Rik, gue mau putus,” pinta Kate.
“Plakk!” Erik menampar pipi Kate setelah mendengar ucapannya itu.
“Terserah!” Erik pun berlalu dan meninggalkannya sendiri. Kate hanya bisa menangis. Melihat hal tersebut Dika segera menghampirinya.
“Kamu ga apa - apa?” tanya Dika.
“Yaa, aku ga apa – apa kok,” jawab Kate sambil menghapus air matanya, “Kamu ngapain disini?”
“Cuma kebetulan lewat. Ada masalah apa?” Tanya Dika.
“Gue baru putus. Tapi gue lega karena gue bisa bebas, ga dikekang lagi sama dia,” jawab Kate dengan sedikit tersenyum.
“Hehe, bagus deh kalo begitu,” jawab Dika juga dengan tersenyum, ”Kate, sebenarnya…”
“Teeeet” suara bel pun memotong perkataan Dika.
“Gue ke kelas dulu ya, bye” kata Kate sambil berjalan meninggalkan Dika. Niatnya untuk menyatakan cinta kepada Kate pun diurungkan. Entah sampai kapan ia bisa memendam rasanya itu. Sampai pada akhirnya Yudi mendesaknya untuk segera menyatakan cinta.
“Tunggu, dia baru putus, jadi aku yakin dia belum siap pacaran lagi,” komentar Dika.
“Haduuh, gara – gara tu cewek hidup lo jadi melankolis begini,” kata Yudi.
“Jiah, lu kira sinetron,” jawab Dika dengan sedikit tertawa. Percakapan keduanya pun diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh Yudi.
Berbulan – bulan Kate dan Dika telah dekat tapi tak sedikit pun kata cinta yang terucap dari bibir mereka berdua. Sebenarnya Dika takut ditolak oleh Kate dan menyebabkan hubungan mereka menjadi jauh. Sedangkan Kate merasa enggan untuk menyatakan lebih dulu. Padahal Kate juga sudah lama menyukai Dika semenjak ia berkenalan di perpustakaan. Dika hanya dapat menuangkan perasaanya melalui lagu – lagu yang ia nyanyikan dan direkam dalam sebuah CD (bukan celana dalam). Beberapa hari kemudian Dika menerima berita bahwa ia telah mendapatkan beasiwa di Australia untuk bersekolah di sana. Kontan saja (tanpa diangsur) hal itu membuat ia senang. Di sisi lain ia kembali teringat pada Kate. Ia tidak ingin memberi tahu tentang kepergiannya itu.
Sehari sebelum keberangkatannya ia mengambil sebuah gitar dan mulai bernyanyi.

You’re so beautiful
But that’s not why I love you
I’m not sure you know
That the reason I love you is you
Being you, just you
Yeah the reason I love you is all that we’ve been through
And that’s why I love you…

Suaranya pun direkam dan ia berencana memberikan CD itu kepada Kate. Ia menitipkannya kepada Yudi.
“Lo yakin ga mau ngasi sendiri?” tanya Yudi.
“Gue yakin kok,” jawab Dika dengan tersenyum.
“Oke deh. Lo baik – baik disana ya sob, gue bakal ngerasa kehilangan lo banget. Siapa lagi yang bisa bantu gue bayar utang – utang gue? Huhu..” kata Yudi sambil bercucuran air mata dan telah menghabiskan 3 bungkus tissue. Nampaknya hal ini lebih menyedihkan dari sinetron “Cinta Fitri season 7” yang sering ia tonton.
Esok paginya Dika sudah sampai di Bandara tanpa diantar oleh siapa pun. Emaknya sendiri harus menjaga toko emasnya dan tidak sempat mengantar anak semata wayangnya tersebut. Sedangkan Yudi segera pergi ke rumah Kate untuk memberikan CD tersebut.
“Kenapa dia tidak bilang kalau dia mau pergi? Tanya Kate kepada Yudi. Matanya pun segera berkaca – kaca.
“Sorry ya, dia juga ga mau ngasi tau alasannya,” jawab Yudi. Ia pun berpamitan untuk pulang dan Kate segera masuk ke kamar untuk mendengarkan isi CD tersebut. Selain CD ia juga diberikan pesan singkat yang isinya sebagai berikut.

Dear Kate,
Sorry, gue ga bilang kalau gue mau berangkat ke Aussie. Sebelumnya gue Cuma mau bilang kalau gue suka sama lo. Kalau lo mau nerima gue, gue tunggu lo di bandara jam 8. Kalau lo dateng gue akan batalin keberangkatan gue ke Aussie. Tapi kalau lo ga dateng, gue anggap itu artinya lo nolak gue.

Dika

Setelah membaca pesan tersebut Kate segera menengok ke arah jam yang pada saat menunjukan pukul 07.48. Ia pun segera berangkat menuju Bandara. Ia nekat meminjam mobil Fami walaupun Ia belum terlalu bisa mengendarainya. Sedangkan Fami pada saat itu sedang mengunjungi orang tuanya di rumah sakit.

Di bandara Dika terus menunggu kedatangan Kate. Walaupun peringatan untuk penumpang tujuan Australia sudah berkali – kali diucapkan ia tetap menunggu. Kate pun melajukan mobil dengan cepat. Karena tidak bisa mengontrol kecepatan itu, ia sampai tidak melihat jika ada tikungan di depan dan pada akhirnya menabrak pagar pembatas. Seketika itu ia jatuh ke dalam jurang hingga ia tewas. Karena merasa Kate tidak akan datang Dika pun segera masuk dan melakukan check-in. Ia berkesimpulan bahwa Kate selama ini tidak memiliki rasa terhadapnya walaupun sesungguhnya anggapan itu salah. Seharusnya ini tidak akan terjadi jika salah satu dari mereka mempunyai keberanian untuk menyatakan cinta terlebih dahulu. Jangan pula jadikan rasa gengsi sebagai halangan. Jangan terlalu lama mengulur waktu karena kesempatan itu tidak datang dua kali.

The End

Real post by: Aldika Sabarson
Repost by: Hen_dr@

2 komentar:

Audita Nimas mengatakan...

iseng kepo blog mu. aku menemukan tulisan ini dan ada nama "aldika sabarson" kamu mengenalnya juga?

Hendra Setiawan mengatakan...

Enggak nimas, hehe
aku nemu note di fb
ceritanya lucu, trus aku repost hehe

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

-Hen_dr@-

BaliBlogger

Recent Comments