Oka Rusmini, Sastrawan Kebanggaan Bali
Kawan, kali ini aku ingin berbagi cerita sedikit tentang sastrawan Bali yang terkenal karena sangat fenomenal dan kontroversial, beliau adalah Oka Rusmini.
Sebenarnya sosok beliau baru kukenal saat aku membacakan puisi karyanya, judulnya Tanah Bali-nanti akan aku lampirkan pusinya, hehe
Oke langsung aja ya kawan..
Oka Rusmini merupakan salah seorang sosok sastrawan yang sangat diperhitungkan di Indonesia. Dengan karya-karyanya yang fenomenal dan kontroversial, beliau mulai diakui sebagai sastrawan kelas satu di negeri ini. Karya-karyanya yang secara gamblang mendedahkan sejumlah persoalan adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali yang kolot, kian menarik perhatian para penikmat sastra Indonesia. Acap kali dalam karyanya, beliau menuangkan keprihatinanya pada persoalan ketidakadilan, kekerasan, kekelaman yang dialami perempuan Bali termasuk dirinya. Sebagai bagian dari masyarakat Bali, aku akui bahwa memang benar masyarakat Bali menganut sistem keluarga Patrilineal, yang dirasa cenderung merugikan kaum hawa. Namun itu dulu, kini diskriminasi tersebut kian pudar karena kesetaraan gender di Indonesia sudah diproklamirkan, iya kan? :)
Lanjut lagi, tema-tema yang seringkali menjadi bahan pemikiran dan perlawanan kaum feminis tersebut cenderung menjadi tema sentral dalam kebanyakan karya Oka Rusmini. Oka Rusmini melalui karya-karyanya juga dengan lugas mendobrak tabu dan mengekspos persoalan seks dan berbagai pesona rupa erotika secara gamblang. Semuanya itu dengan jelas dapat dinikmati pada novel "Tarian Bumi" dan puisi beliau yang dibuat tahun 1999 berjudul "Mekatu". Namun, karya-karya fenomenalnya ini tak jarang menimulkan riak-riak pertentangan di kalangan keluarga, sejumlah kawan, atau para pembaca puisinya. Terlepas dari itu semua, secara pribadi aku angkat topi pada sastrawan ini sembari mengajungkan jempolku pada beliau. Sosok sastrawan yang memberikan sejuta inspirasi. Ku tunggu karya-karyamu Oka....! :)
Lampiran : Tanah Bali
Tanah Bali (1)
Mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu
Atau hidup tak pernah mengajari keindahan
Daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung
Tak pernah mendongengkan silsilah padamu
Aku ingat
Ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku
Dan leluhur duduk dekat kali
Menjulurkan kaki. Kain mereka dibiarkan basah
Air kali memandikannya dengan riang
Aku sering berlari dengan sepeda roda tiga
Mengitari kali. Pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura
Katanya, aku harus tahu silsilah tanah
Beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah
Baliku harum. Darah para penari telah jadi api
Membakar kesuburan bunga-bunga tanahku
Anak-anak tetap bermain
Dekat tepi kali seorang perempuan menunggu cucunya
Ikan-ikan kecil, bua tanah basah
Memberi kemudahan bagi nafasnya
Tanah Bali (2)
Pahamkah kau arti jadi tanah?
Pertanyaan ini mungkin tak pernah kau kenal
Langit yang melindungimu dari bususr matahari
Membuatmu lupa pada darah leluhur yang sering menyiram bentukmu
Suara delman yang membangunkan perempuan-perempuan pasar
Terbungkus jadi dongeng
Jauh di seberang, langit mulai kau musuhi
Tak ada karang dan buih bisa dipahat jadi peradaban
Pribumi tololkah yang menempati sepetak tanah?
Keterasingan membungkus setiap bumi yang dipijak
Kita mungkin masih punya Pura
Yang kau lirik juga jadi tempat permainan
Kemana para leluhur penari Sang Hyang mementaskan keakuannya?
Tak ada upacara memikat leluhur pulang
Air di tepi kali Badung tak ingin disentuh
Perempuan tua yang sering mengantar cucunya
Kehilangan kali
Berapa silsilah tanah kau pahami?
Siapa yang kau percaya menanggung kesalahan ini?
Kalau kau punya pohon
Atau tanah yang tak memiliki keharuman bunga padi
Pada siapa kau akan bercerita tentang kebesaranmu?
Orang-orang tanpa mata, hati, dan kepala
Hanya berani meminang keindahan tanahmu
Kau menari di atas tubuhnya
Katakan padaku, tarian apa yang kau pahami?
Tanah Bali (3)
Selagi para perempuan menitipkan doa lewat bunga-bunga
Pura-Pura menggigil, muntahannya membasahi patung-patung
Tangan-tangan asing ikut memberi pahatan
Pura-Puraku
Telah bercerita pada hujan
Yang tak akan melahirkan benihnya
Beratus tarian yang hanya dipahami para dewa luntur
Patahannya membunuh bunga-bunga padi
Upacara tak lagi memiliki suara sendiri
Para perempuan yang sering dibangunkan suara delman
Tak lagi tahu keindahan tubuh padi
Asap membungkus setiap tanah yang ku pijak
Ku lihat darah mengalir deras
Ku lihat luka batu karang di lautan
Ku lihat langit pecah
Bahkan tak bisa ku bedakan warnanya
Orang-orang dari pesisir menyeberang
Menanam beratus bangkai baru
Pribumikah yang menangis di sudut-sudut kota
Tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya
Bahkan untuk mencium tanah
Para pemilik peta, pemilik kali Badung, pemilik laut
Bahkan para dewa harus membayar bau tanah miliknya
Tanah Bali (4)
Mana tanahku yang sempat mengotori kaki kecilku
Mana upacara kelahiranku
lengkap dengan beragam bunga dan daun hutan
Yang membasuhku jadi pemilik tanah ini
Mana para leluhur
Yang sering mendongengkan silsilah kebesaran manusia
Mana para penari
Yang khusuk meminjam malam mempelajari taksu dewa tari
Sejarah tak lagi memiliki kebesaran
Karena tanah tak lagi kau kenali
Selagi daun-daun mempersiapkan kematian
Berapa petak tanah kau sisakan untuk penguburan ini?
Denpasar, 1994
-Hen_dr@-
Sebenarnya sosok beliau baru kukenal saat aku membacakan puisi karyanya, judulnya Tanah Bali-nanti akan aku lampirkan pusinya, hehe
Oke langsung aja ya kawan..
Oka Rusmini merupakan salah seorang sosok sastrawan yang sangat diperhitungkan di Indonesia. Dengan karya-karyanya yang fenomenal dan kontroversial, beliau mulai diakui sebagai sastrawan kelas satu di negeri ini. Karya-karyanya yang secara gamblang mendedahkan sejumlah persoalan adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali yang kolot, kian menarik perhatian para penikmat sastra Indonesia. Acap kali dalam karyanya, beliau menuangkan keprihatinanya pada persoalan ketidakadilan, kekerasan, kekelaman yang dialami perempuan Bali termasuk dirinya. Sebagai bagian dari masyarakat Bali, aku akui bahwa memang benar masyarakat Bali menganut sistem keluarga Patrilineal, yang dirasa cenderung merugikan kaum hawa. Namun itu dulu, kini diskriminasi tersebut kian pudar karena kesetaraan gender di Indonesia sudah diproklamirkan, iya kan? :)
Lanjut lagi, tema-tema yang seringkali menjadi bahan pemikiran dan perlawanan kaum feminis tersebut cenderung menjadi tema sentral dalam kebanyakan karya Oka Rusmini. Oka Rusmini melalui karya-karyanya juga dengan lugas mendobrak tabu dan mengekspos persoalan seks dan berbagai pesona rupa erotika secara gamblang. Semuanya itu dengan jelas dapat dinikmati pada novel "Tarian Bumi" dan puisi beliau yang dibuat tahun 1999 berjudul "Mekatu". Namun, karya-karya fenomenalnya ini tak jarang menimulkan riak-riak pertentangan di kalangan keluarga, sejumlah kawan, atau para pembaca puisinya. Terlepas dari itu semua, secara pribadi aku angkat topi pada sastrawan ini sembari mengajungkan jempolku pada beliau. Sosok sastrawan yang memberikan sejuta inspirasi. Ku tunggu karya-karyamu Oka....! :)
Lampiran : Tanah Bali
Tanah Bali (1)
Mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu
Atau hidup tak pernah mengajari keindahan
Daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung
Tak pernah mendongengkan silsilah padamu
Aku ingat
Ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku
Dan leluhur duduk dekat kali
Menjulurkan kaki. Kain mereka dibiarkan basah
Air kali memandikannya dengan riang
Aku sering berlari dengan sepeda roda tiga
Mengitari kali. Pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura
Katanya, aku harus tahu silsilah tanah
Beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah
Baliku harum. Darah para penari telah jadi api
Membakar kesuburan bunga-bunga tanahku
Anak-anak tetap bermain
Dekat tepi kali seorang perempuan menunggu cucunya
Ikan-ikan kecil, bua tanah basah
Memberi kemudahan bagi nafasnya
Tanah Bali (2)
Pahamkah kau arti jadi tanah?
Pertanyaan ini mungkin tak pernah kau kenal
Langit yang melindungimu dari bususr matahari
Membuatmu lupa pada darah leluhur yang sering menyiram bentukmu
Suara delman yang membangunkan perempuan-perempuan pasar
Terbungkus jadi dongeng
Jauh di seberang, langit mulai kau musuhi
Tak ada karang dan buih bisa dipahat jadi peradaban
Pribumi tololkah yang menempati sepetak tanah?
Keterasingan membungkus setiap bumi yang dipijak
Kita mungkin masih punya Pura
Yang kau lirik juga jadi tempat permainan
Kemana para leluhur penari Sang Hyang mementaskan keakuannya?
Tak ada upacara memikat leluhur pulang
Air di tepi kali Badung tak ingin disentuh
Perempuan tua yang sering mengantar cucunya
Kehilangan kali
Berapa silsilah tanah kau pahami?
Siapa yang kau percaya menanggung kesalahan ini?
Kalau kau punya pohon
Atau tanah yang tak memiliki keharuman bunga padi
Pada siapa kau akan bercerita tentang kebesaranmu?
Orang-orang tanpa mata, hati, dan kepala
Hanya berani meminang keindahan tanahmu
Kau menari di atas tubuhnya
Katakan padaku, tarian apa yang kau pahami?
Tanah Bali (3)
Selagi para perempuan menitipkan doa lewat bunga-bunga
Pura-Pura menggigil, muntahannya membasahi patung-patung
Tangan-tangan asing ikut memberi pahatan
Pura-Puraku
Telah bercerita pada hujan
Yang tak akan melahirkan benihnya
Beratus tarian yang hanya dipahami para dewa luntur
Patahannya membunuh bunga-bunga padi
Upacara tak lagi memiliki suara sendiri
Para perempuan yang sering dibangunkan suara delman
Tak lagi tahu keindahan tubuh padi
Asap membungkus setiap tanah yang ku pijak
Ku lihat darah mengalir deras
Ku lihat luka batu karang di lautan
Ku lihat langit pecah
Bahkan tak bisa ku bedakan warnanya
Orang-orang dari pesisir menyeberang
Menanam beratus bangkai baru
Pribumikah yang menangis di sudut-sudut kota
Tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya
Bahkan untuk mencium tanah
Para pemilik peta, pemilik kali Badung, pemilik laut
Bahkan para dewa harus membayar bau tanah miliknya
Tanah Bali (4)
Mana tanahku yang sempat mengotori kaki kecilku
Mana upacara kelahiranku
lengkap dengan beragam bunga dan daun hutan
Yang membasuhku jadi pemilik tanah ini
Mana para leluhur
Yang sering mendongengkan silsilah kebesaran manusia
Mana para penari
Yang khusuk meminjam malam mempelajari taksu dewa tari
Sejarah tak lagi memiliki kebesaran
Karena tanah tak lagi kau kenali
Selagi daun-daun mempersiapkan kematian
Berapa petak tanah kau sisakan untuk penguburan ini?
Denpasar, 1994
-Hen_dr@-
0 komentar:
Posting Komentar